Jakarta -
Sistem penerimaan mahasiswa baru kita selalu berkembang dan semakin kompleks. Dulunya, akses ke PTN sangat sederhana: seleksi tertulis dan PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Kuota PMDK-nya juga sangat sedikit: hanya menyentuh siswa yang benar-benar berprestasi. Hasilnya, berdasarkan studi pelacakan di beberapa universitas, prestasi mahasiswa melalui jalur PMDK konon lebih bagus daripada mahasiswa jalur ujian tulis. Konsep PMDK inilah kemudian diadaptasi dan dikembangkan. Namanya belakangan SNMPTN, atau lebih akrab disebut undangan. Mengingat kemanjuran PMDK, jalur undangan dibesarkan.
Namun, belakangan diketahui jalur undangan tidak semanjur jurus PMDK. Menristek Dikti Muhammad Nasir pada pertemuan tertutup Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) mengatakan bahwa potensi mahasiswa jalur undangan kalah jauh dibandingkan potensi mahasiswa dari jalur tertulis. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Salah satunya karena PTN menilai calon mahasiswa dari atap sekolah melalui sistem akreditasi. Sekolah berakreditasi A mendapat jatah 50 persen, B 30 persen, C 10 persen, dan tidak terakreditasi 5 persen.
Padahal, kita sama-sama maklum bahwa akreditasi adalah urusan administrasi. Akreditasi tak menjadi jaminan untuk kompetensi, apalagi bakat siswa. Belum lagi kalau kita tengok jauh lebih dalam lagi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akreditasi rentan disusupi mafia karena melalui akreditasi, siswa dapat didatangkan dengan mudah. Karena itu, pihak sekolah mengadakan permainan dengan pihak dinas pendidikan. Tidak ada bukti konkret, tetapi isu-isu demikian sudah jamak diketahui. Yang lebih parah, pihak sekolah sengaja mengatrol nilai siswa-siswanya melalui skema cuci rapor. Itulah yang membuat jalur undangan melempem.
Dimutakhirkan
Sejauh ini, sistem terbaik dalam penerimaan mahasiswa baru adalah jalur tulis. Mata uji yang dites adalah kemampuan verbal, numerikal, dan figural. Untuk IPS, ditambahkan lagi dengan kemampuan ilmu-ilmu humaniora, seperti Sosiologi, Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Sementara untuk IPA, disertakan lagi dengan kemampuan Matematika-IPA, Fisika, Kimia, dan Biologi. Tak ada pembobotan soal. Soal yang mudah sama nilainya dengan soal rumit. Benar 1 sama-sama dapat poin 4, salah satu dapat poin -1, serta kosong dapat poin 0. Maka itu, para tutor selalu mengarahkan agar siswa menyelesaikan soal yang mudah.
Kini, skema jalur tertulis dimutakhirkan. Sistem pembobotan dilakukan. Dampaknya, dengan sistem ini peserta yang menjawab jumlah soal yang sama dengan peserta lain belum tentu mendapatkan nilai yang sama. Nilai tergantung pada soal mana saja yang dikerjakan. Selain pembobotan, skema penskoran juga dirombak. Jika dulu menjawab salah maka dapat poin pengurangan, saat ini, salah dan kosong dihargai sama: tanpa poin (0). Teknis penilaiannya sangat kompleks. Pada tahap I, semua jawaban peserta dihitung: benar 1 dihitung 1, dan kosong/salah dihitung 0. Tahap II, Teori Respons Butir (Item Response Theory) diterapkan.
Harus diakui, sistem ini semakin canggih, apalagi konon sistem ini sudah dilakukan di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Namun, dalam rangka mencari bibit terbaik sesuai minat dan bakat (calon) mahasiswa, sistem ini masih mempunyai kelemahan, bahkan kemunduran. Pertama, karena salah dan kosong nilainya sama, maka besar kemungkinan para peserta mencoba peruntungannya. Kedua, sistem ini hanya membatasi pada pembobotan mudah dan rumit. Padahal, salah satu kunci kesuksesan mahasiswa terletak pada bakatnya. Jika mau menjadi dokter, misalnya, maka nilai kemampuan Biologinya harus mendapat perhatian lebih.
Sayangnya, ini belum terlakukan pada skema SBMPTN terbaru. Padahal, sistem jalur tulis mestinya harus lebih visioner: menghindari orang-orang salah jurusan. Sebab, orang yang salah jurusan besar kemungkinan akan menjadi beban negara di kemudian hari. Kita harus sadar, banyaknya "orang tersesat di universitas" adalah karena mereka merasa tak sanggup untuk menggapai minatnya. Alih-alih memilih jurusan yang sesuai minatnya, dia malah memilih jurusan yang sesuai arahan tutornya. Di sini, minatnya untuk kuliah bukan lagi untuk mengembangkan bakat, melainkan agar lulus PTN, meski tak diminati.
Yang lebih fatal, karena tidak ada lagi sistem pengurangan nilai kalau salah, maka besar kemungkinan setiap peserta akan menjawab setiap butir soal. Di sini, seperti disebutkan di atas, keberuntungan bisa menjadi faktor penentu kelulusan. Alih-alih mendapatkan mahasiswa berkompeten, PTN malah mendapatkan "mahasiswa beruntung". Padahal, materi uji jalur tertulis ini digunakan bukan semata untuk menyeleksi dan menyisihkan, melainkan juga untuk memprediksi kemampuan dan bakat siswa (validitas prediktif). Maksudnya, tes ini menjadi salah satu cara untuk melihat potensi calon mahasiswa.
Apa Boleh Buat?
Karena itu, kalau panitia SBMPTN belum bisa melacak minat dan bakat, sebaiknya skema baru jalur tertulis ini harus mengadopsi sistem pengurangan nilai. Apa boleh buat, dari sekian banyaknya pintu masuk PTN, jalur SBMPTN merupakan jalur terbaik. Mengacaukan jalur terbaik ini tentu sama artinya dengan melangkah mundur. Memperbaiki jalur undangan tentu sudah jauh lebih rumit lagi. Kita sudah mengalaminya. Karena mencontoh Amerika, dan berkaca pada pengalaman bahwa jalur PMDK sangat manjur, kita malah mendapatkan fakta buram bahwa jalur ini semakin cacat.
Padahal, di Amerika (juga di Indonesia pada masa PMDK), jalur undangan ini mempunyai validitas paling mumpuni. Di Amerika, sistem nilai dan rangking di sekolah (ibarat jalur undangan) memiliki validitas prediktif paling tinggi dibandingkan dengan SAT I ataupun SAT II (Linn, 2005; Perry, Brown & Sawrey; 2005). SAT I adalah aptitude test, sedangkan SAT II achievement test. Kalau di Indonesia, SAT I itu adalah TKPA (kemampuan dasar dalam verbal, numerikal, dan vigural), sementara SAT II hasil pencapaian dari mata uji penjurusan: humaniora untuk IPS dan sain-tek untuk IPA.
Sayangnya, sejak jalur PMDK dimutakhirkan, kita mendapatkan validitas prediktif yang jelek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi (dalam rentang 0-1) antara sistem nilai/rangking (UN) dan SBMTPN masih sangat rendah: hanya 0,2 untuk IPA dan 0,18 untuk IPS. Terus terang, saya malah khawatir bahwa pemutakhiran penskoran jalur SBMPTN ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan jalur undangan. Siswa-siswa sudah mulai banyak mengeluh. Mereka kurang lebih berkata, masuk PTN itu hanya soal keberuntungan. Akhirnya, masuk PTN adalah upaya pemuliaan pada mitos (myth) dan bukan ilmu (logos), semakin berdasar. Apa boleh buat?
Riduan Situmorang pendidik di Yayasan Don Bosco Medan, pengajar di Bimbel Prosus Inten, pegiat literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum (TWF)
source: https://news.detik.com/kolom/d-3981365/skema-baru-sbmptn?_ga=2.111841860.1939507919.1543147815-125086027.1543147815